garudasaktinews.com – Sukabumi, Fenomena perkawinan anak kembali menjadi sorotan publik setelah mencuat beberapa kasus yang terjadi di sejumlah daerah. Salah satunya adalah pernikahan antara ER (17) dan YE (15) yang berlangsung di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Tak lama berselang, publik juga dikejutkan oleh pengajuan permohonan nikah dari seorang anak berusia 12 tahun 11 bulan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Data dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Wajo mencatat, sepanjang Januari hingga Mei 2025 terdapat 18 permohonan perkawinan anak. Dari jumlah tersebut, 16 pasangan di antaranya masih berusia di bawah 18 tahun.
Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DP2KBP3A Kabupaten Wajo, Gusnaeni, mengungkapkan bahwa meskipun angka tersebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya — yakni 82 kasus pada akhir Desember 2024 — namun tetap menjadi perhatian serius.
“Tahun ini memang agak berkurang, dan kami berharap tren ini terus menurun hingga akhir tahun,” ujarnya, Selasa (20/5/2025), sebagaimana dikutip dari Tribun-Timur.com.
Fenomena ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan dari sisi sosial dan psikologis, tetapi juga dari sisi administrasi kependudukan, khususnya menyangkut pencatatan status perkawinan dan kepemilikan Kartu Keluarga (KK).
Direktur Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, Muhammad Farid, menegaskan bahwa pasangan yang menikah di bawah umur tidak dapat dimasukkan dalam satu KK sebagai suami istri, kecuali telah memenuhi syarat hukum yang berlaku.
“Pasangan yang menikah di bawah usia legal tidak dapat dicatat sebagai suami istri dalam KK, kecuali mereka memperoleh dispensasi dari pengadilan dan perkawinannya telah dicatat secara resmi,” tegas Direktur Farid, Senin (26/5/2025).
Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merevisi batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Tanpa pencatatan resmi dan tanpa dispensasi, perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum administratif, termasuk dalam sistem kependudukan nasional.
Pemerintah melalui Dukcapil terus mengimbau masyarakat untuk memahami risiko hukum dan sosial dari perkawinan anak. Selain berdampak pada kesehatan dan pendidikan, perkawinan anak juga dapat menimbulkan hambatan administratif, seperti tidak dapat mengakses layanan dasar karena tidak tercatat sebagai pasangan sah dalam data kependudukan.
Disdukcapil dan instansi terkait di seluruh daerah diharapkan terus melakukan edukasi dan kolaborasi lintas sektor untuk menekan angka perkawinan anak, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pencatatan sipil yang sah dan sesuai regulasi.













