GARUDASAKTINEWS.COM- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya dugaan intervensi mantan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ahmadi Noor Supit periode 2022-2024 dalam penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Jawabarat Nomor: 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024 Tanggal: 06 Maret 2024. Akibat hal tersebut hasil audit menjadi lebih lunak dan aman, padahal hasil telaah, penyelidikan dan uji petik KPK mengungkap adanya dugaan korupsi ratusan milyar rupiah pada Kegiatan Operasional Bank BJB tahun 2021-2023.
Pengusutan kasus korupsi ini berawal dari laporan yang diterima KPK pada Juli 2024.
Kala itu Auditor membagi temuan tersebut dalam tiga aspek. Aspek kredit, Aspek dana Pihak ketiga dan Aspek Beban. Di aspek kredit, terdapat 19 temuan. Aspek pihak ketiga disebutkan hanya ada satu temuan. Sementara, aspek beban ada empat temuan. Di aspek beban terdapat poin Mekanisme Pengadaan Jasa Agensi Belum Menjamin Terciptanya Harga yang Paling Menguntungkan bank bjb. Temuan ini dipilih dan diperdalam oleh KPK.

Kutipan laporan hasil pemeriksaan Nomor: 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024 Tanggal: 06 Maret 2024
Dalam keterangan LHP BPK merinci bahwa Bank BJB pada Tahun 2021, 2022 dan Semester 1 2023 telah merealisasikan Beban Promosi sesuai Laporan Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten seluruhnya sebesar Rp1.159.546.184.272,00. Realisasi tersebut antara lain berupa Beban Promosi Umum dan Produk bank sebesar Rp820.615.975.948,00.
Dari realisasi beban promosi umum dan produk bank tersebut, diantaranya sebesar Rp801.534.054.232,00 dikelola oleh Divisi Corporate Secretary (Corsec). Pemeriksaan secara uji petik dilaksanakan secara terbatas atas biaya penayangan iklan di media televisi, media cetak dan media online melalui kerjasama dengan enam agensi seluruhnya sebesar Rp341.889.544.020,00.
Secara eksplisit disebutkan, sudah berulang kali auditor BPK meminta dokumen bukti bayar penayangan iklan dari agensi iklan ke manajemen Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB), tapi tak kunjung dipenuhi. Hasil nihil juga didapati auditor negara saat meminta bukti kepada agensi.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan periode anggaran yang diduga menjadi lahan bancakan terjadi sejak 2021 hingga semester awal 2023. Anggaran yang dimaksud adalah dana iklan BJB untuk promosi di sejumlah media massa.
BJB menggunakan jasa agensi sebagai perantara pemasangan iklan di media. Pihak bank mematok sekian anggaran, tetapi dalam praktiknya diduga terjadi skandal antara BJB dan agensi untuk menggelembungkan harga.
“Kasus BJB ini sedang ngantri(ke proses penyidikan dan sudah beres penyelidikan,” kata Asep kepada awak media
Terkait dugaan Ahmad Noor Supit melakukan intervensi kepada auditor BPK Perwakilan Jawa Barat agar temuan penyimpangan tidak berisiko bagi manajemen BJB. Hasil audit sebenarnya diarahkan untuk tidak seluruhnya dimunculkan sehingga menguntungkan bagi pihak yang menyimpangkan angggaran.
“Kenapa BPK? Kan BPK itu mengaudit Kementrian/Lembaga Negara dan Bank BUMN/BUMD. Jadi, saat audit itu lah (diduga memoles isi laporan),” jelas Asep.
Kronologi Skandal Biaya Iklan BJB
Dalam laporan bernomor 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024, diungkap potensi aliran dana dengan nilai mencapai Rp260 miliar yang tidak jelas. Hasil itu didapati dari Auditor BPK melalui serangkaian investigasi dan uji petik.
Pihak BJB dan enam agensi iklan memilih tertutup kepada auditor tentang besaran uang yang dibayar ke media massa. Keenam agensi itu adalah PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB), PT Antedja Muliatama (AM), PT Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM), PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), PT BSC Advertising (BSCA) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB).
Hal ini berawal ketika Pihak BJB menyiapkan anggaran promosi hingga Rp1,15 triliun. Sebagian besarnnya, yakni Rp820,61 miliar dialokasikan untuk promosi produk bank dan umum di media massa. Laporan BPK menyebutkan sebanyak Rp341,88 miliar telah digelontorkan kepada enam agensi itu. Para agensi mendapat bayaran berdasar bukti penayangan iklan atau logproof.
Dalam perjanjian kerjasama, Pihak agensi tidak diwajibkan oleh BJB untuk melampirkan bukti pembayaran kepada media. Padahal, bukti bayar ini menjadi dasar klaim agensi kepada bank. Hal ini yang menjadi celah terjadinya penggelembungan harga.
Saat BPK mengonfirmasi kepada sejumlah media, indikasi mark-up pun terlihat kentara dari total realisasi penayangan iklan di TV, media cetak dan online.
Terdapat 17 media arus utama yang dipasang iklan BJB. Seperti Global TV yang mengonfirmasi ke BPK bahwa bayaran iklan dari agensi sebesar Rp350 juta. Sedangkan, pihak agensi mengklaim bayaran ke BJB mencapai Rp2,66 miliar atau selisih sekitar Rp2,31 miliar. Masih dalam selisih miliaran rupiah, pihak Trans 7 mengonfirmasi biaya iklan yang dibayarkan agensi Rp1,13 miliar. Padahal, klaim yang diajukan agensi tembus berkali lipat hingga Rp8,58 miliar.
Adapun total selisih untuk di media TV saja sebesar Rp28,14 miliar. Jumlah selisih didapat dari klaim BJB untuk belasan TV sebesar Rp37,93 dikurang jumlah hasil konfimasi media yang hanya Rp9,79 miliar.
Namun, BPK dalam laporannya tidak menyebut itu sebagai kerugian keuangan negara, tetapi hanya ‘pemahalan’. Jumlah selisih yang sarat penggelembungan harga ini berpotensi lebih besar lagi. Sebab, BPK tidak memperoleh akses transaksi dari agensi yang membayar jasa iklan ke media.
Para Agensi menolak mengeluarkan dokumen transaksi dengan alasan kerahasiaan perusahaan. “Dokumen tersebut diperlukan untuk menguji kebenaran pelaksanaan penayangan iklan dan biaya penayangan,” petik laporan BPK.
Pimpinan PT CKSB yang mendapat dana proyek sekitar Rp78,46 miliar, beralasan selisih bayar itu sebagai margin atau nilai keuntungan. Dalam keterangannya ke auditor, direktur perusahaanjuga bilang nilai selisih berasal dari fee sebesar 1% yang diatur dalam kontrak dengan BJB. Pimpinan Divisi Corporate Secretary yang berstatus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan promosi iklan ini, pun mengatakan, perbedaan nilai margin dan fee tersebut masih dianggap wajar demi keterkenalan produk bank di publik.
Selain itu, jumlah selisih yang didapat agensi ditaksir bisa lebih banyak lantaran tidak terdapat bukti tertulis pemesanan iklan antara pihak agensi dan media. Pun tidak ada di atas hitam-putih ihwal kontrak kerja sama. Sehingga ditemukan beberapa alokasi iklan yang tidak sesuai dengan proyeksi lini masa agensi. Bahkan, ada beberapa iklan muncul dalam sela program TV tertentu, yang sebenarnya tidak tercantum dalam proposal agensi ke BJB. “Hubungan kerjasama yang selama ini diterapkan dengan media berlandaskan rasa saling percaya,” petik laporan BPK yang merangkum alasan para agensi.
Masih dalam pengkondisian iklan di TV, pihak BJB ternyata tidak mewajibkan penawaran harga pasang iklan yang dipatok media. Sehingga bank mengeluarkan estimasi anggaran semaksimal mungkin, alih-alih menekan anggaran demi efisiensi keuangan di sektor bisnis lain.
Pihak PT BSCA disebut BPK mengalihkan kerja promosi iklan ke PT WSBE tanpa pemberitahuan ke BJB. Padahal, kedua perusahaan sudah mendapat dana promosi iklan sebesar Rp50 miliar lebih. Akibat pengalihan kerja tanpa izin ini, BPK melaporkan bahwa anggaran menjadi sia-sia lantaran panjanganya rantai jasa iklan dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Sementara itu, BJB sudah membayar jasa agensi ke PT BSCA sebesar Rp29,86 miliar.
“Potensi pemborosan atas pekerjaan penayangan iklan media online yang dialihkan PT BSCA ke PT WSBE,” petik laporan BPK.
Dalam lingkup iklan yang melibatkan institusi berpusat di Bandung, Jawa Barat, sejumlah PT di atas kerap menang proyek promosi. Semisal PT AM yang mendapat proyek iklan media online dari Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung pada 2023. Proyek iklan medium serupa didapat juga PT CKM. Perusahaan yang terdaftar di Bandung ini menang proyek senilai Rp200 juta. Juga, PT WSBE yang mendapat proyek iklan media online dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan nilai pagu Rp505 juta. Semua proyek yang dimenangkan itu melalui mekanisme pengadaan langsung atau tanpa tender.
Untuk dua perusahaan terakhir yang disebut tidak asing dalam industri media massa di Bandung dan Jawa Barat. Media bernama Jabar Ekspres (dulu Bandung Ekspres) di bawah naungan PT WSBE. Sedangkan PT CKM dimiliki oleh Ikin Asikin Dulmatin, yang merupakan pimpinan PT Ayo Media Network. Anak Ikin juga pemilik saham PT AM yang dalam proyek iklan dari BJB ini mendapat anggaran Rp88,75 miliar. Afiliasi perusahaan juga terlihat antara PT CKMB dan PT CKSB. Saham dua perusahaan yang berlokasi di Jakarta ini dipegang oleh satu orang.
Selain tidak terbuka soal dokumen kontrak dan penayangan iklan di media, penentuan pengadaan proyek juga dipertanyakan. Dalam laporan BPK, keenam agensi menang proyek melalui mekanisme pengadaan, pemilihan dan penunjukan langsung. Mekanisme pengadaan dinilai tidak benar lantaran penentuan yang seharusnya merujuk nilai total transaksi, tapi justru berdasar nilai fee 1-2 persen.
Jika HPS atau harga perkiraan sendiri berdasar nilai fee sekian persen tersebut, maka harga yang terefleksi paling besar hanya Rp1 miliar. Walhasil, nilai itu tidak menghitung dari biaya penanganan iklan. Sedangkan, muatan nilai transaksi yang juga mencakup biaya iklan ke media bisa berjumlah puluhan miliar. Seperti PT CSKB yang mencatatkan nilai transaksi Rp42 miliar pada 2022 untuk promosi iklan di TV dan media online. “Maka metode pengadaan yang akan dipilih seharusnya adalah tender,” petik laporan BPK.
Mekanisme pengadaan secara langsung ini, juga bertabrakan dengan SK Direksi Nomor 0387/SK/DIR-UMU/2020 tentang Standar Operasional Prosedur Pengadaan Barang/Jasa. Pengadaan yang bernilai Rp1 miliar ke atas wajib menggunakan skema tender. Manajemen BJB berdalih tidak membuka lelang proyek ini karena khawatir gagal lelang. Namun, klaim ini dalam laporan BPK dimentahkan lantaran tidak ada bukti.(Seto/Army).
Berbagai sumber berkontribusi dalam penulisan artikel ini, artikel ini juga di dedikasikan untuk Dinas Kesehatan Kota Tangerang yang selalu aktif mempublikasikan Pogram Prioritas namun tidak transparan dalam anggaran publikasi.