GARUDASAKTINEWS.COM-Kasus dugaan proyek Tembok Penahan Tanah (TPT) Bronjong di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Bagendung, Kota Cilegon ditahun tahun 2023, akan dibuka lagi, Polda Banten melalui Kabid Humas Pol Didik Hariyanto turut mengaminkan hal tersebut. Kasus tersebut mulai diusut dan di sidik pada Agustus 2025 setelah adanya petunjuk dari putusan hakim terhadap Gun Gun Gunawan mantan Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cilegon
“Lagi proses penyidikan, sejak Agustus 2025 lalu, Sudah ada yang diperiksa ,” ujar Didik Hariyanto
“Masih proses penyidikan, untuk perkembangannya nanti saya sampaikan,” tambahnya saat dijumpai awak media
Diketahui Penyidik Subdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Banten telah mengantongi calon tersangka kasus dugaan proyek Tembok Penahan Tanah (TPT) Bronjong di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Bagendung, Kota Cilegon tahun 2023.
Diketahui sebelumnya, Mantan Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cilegon, Gun Gun Gunawan, dituntut 3 tahun dan 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Cilegon, pada Rabu sore, 7 Mei 2025.
Gun Gun dinilai terbukti menerima fee proyek senilai Rp 373 juta. JPU Kejari Cilegon, Achmad Firmansyah mengatakan, Gun Gun juga dituntut pidana tambahan berupa denda Rp 200 juta. (Jika denda tidak dibayar) subsider empat bulan kurungan,” ujar Achmad saat itu di Pengadilan Tipikor Serang.
Achmad mengatakan, uang yang diterima Gun Gun tersebut terkait suap tersebut diterimanya dari proyek Pembangunan Tembok Penahan Tanah (TPT) Bronjong di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Bagendung, Kota Cilegon pada tahun 2023 sebesar Rp 1,413 miliar.
Perbuatan Gun Gun, dinilai JPU, telah terbukti memenuhi unsur sebagai mana Pasal 5 ayat (2) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tipikor. “Sebagaimana dalam dakwaan kedua penuntut umum,” kata Achmad.
Pemberi suap, Direktur Utama CV Arif Indah Permata, Mochamad Fazli, juga dituntut dengan pidana penjara selama 3,5 tahun dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. Perbuatan Fazli dinilai memenuhi unsur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Sebagaimana dalam dakwaan pertama penuntut umum,” kata Achmad.
Achmad menjelaskan, kasus suap itu bermula pada tahun 2023, saat DLH Kota Cilegon terdapat kegiatan pembangunan TPT Bronjong di TPSA Bagendung yang dilaksanakan oleh Fazli. Sebelum kontrak kerja terjadi, Gun Gun selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah mengondisikan CV Arif Indah Permata sebagai penyedia jasa. Awalnya, dalam rencana umum pengadaan dilakukan dengan metode lelang umum. Namun, diubah menjadi e-katalog oleh Gun Gun dengan alasan waktu pelaksanaan yang pendek.
“Terdakwa selaku PPK melakukan perubahan RUP yang semula lelang umum menjadi e-purchasing (e-katalog),” ujarnya di hadapan majelis hakim yang diketuai Nelson Angkat.
Achmad menjelaskan, pada saat itu di Kota Cilegon belum terdapat etalase pekerjaan konstruksi melalui e-katalog, dan belum ada ketentuan yang mengatur pekerjaan konstruksi melalui ekatalog.
“Bertujuan agar dapat menunjuk CV Arif Indah Permata. Yang mana terdakwa telah melakukan pembicaraan dengan Saksi Mochammad Fazli selaku Direktur CV Arif Indah Permata, jauh sebelum pengadaan pekerjaan Pembangunan TPT Bronjong,” ungkapnya.
Untuk mendapatkan pekerjaan itu, Gun Gun selaku PPK telah melakukan pembicaraan dengan Mochammad Fazli dan meminta sukses fee sebesar 15 persen dari nilai kontrak, pada saat menawarkanpekerjaan.
“Apabila tidak menyanggupi berencana akan mencari rekanan lain, yang sanggupmenyediakan Fee 15 persen,” ujarnya.
Achmad mengatakan, adanya permintaan itu disanggupi oleh Mochammad Fazli. Ia kemudian menyerahkan sejumlah uang dengan cara transfer dan tunai yang diberikan secara bertahap dengan total yang diterima sebesar Rp 373 juta.
Adapun rinciannya yaitu dengan cara transfer Rp 55 juta secara bertahap ke rekening BCA atas nama Gun Gun Gunawan pada Agustus hingga Desember 2023. “Mulai dari Rp 2 juta, Rp 3 juta, Rp 5 juta, Rp10 juta hingga 20 juta,” ujarnya.
Gun Gun juga menerima uang dari Ahmad Iman Firman selaku orang suruhan Mochammad Fazli, yang juga diberikan secara bertahap. Sejak Juni hingga September 2023, dengan nominal Rp 5 juta hingga Rp 25 juta.
“Pada bulan juni 2023, di parkiran ruko Jombang Busines Centre samping RS Kurnia Cilegon tepatnya di dalam mobil dinas terdakwa Gun Gun Gunawan, saksi Ahmad Iman Firman menyerahkan uang sebesar Rp 100 juta secara langsung kepada kepada terdakwa,” tuturnya.
Tak hanya itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Banten membuat sejumlah catatan tentang peristiwa tersebut,yakni
➢ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 209 ayat (1) angka 1 dan 2 menyebutkan bahwa
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud
menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.
➢ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu pada:
1. Pasal 5 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa pada ayat:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
2. Pasal 12 huruf b menyebutkan bahwa Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
➢ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan,
yaitu pada:
1. Pasal 17 ayat (1) dan (2) huruf c menyebutkan bahwa (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang. (2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: larangan bertindak sewenangwenang.
2. Pasal 18 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
➢ Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yaitu pada
Pasal 5 huruf a, g, k, l, dan m menyebutkan bahwa PNS dilarang: a. menyalahgunakan wewenang; g. melakukan pungutan di luar ketentuan; k. menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan; l. meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan; m. melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
➢ Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah terakhir kali dengan Perpres No 46 Tahun 2025 Tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu pada Pasal 7 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa mematuhi etika sebagai berikut:
a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran, dan ketepatan tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
b. bekerja secara profesional, mandiri, dan menjaga kerahasiaan informasi yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa;
c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat persaingan usaha tidak sehat;
d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis pihak yang terkait;
e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berakibat persaingan usaha tidak sehat dalam Pengadaan Barang/Jasa;
f. menghindari dan mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan negara; g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi; dan h. tidak menerima, tidak menawarkan, atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat, dan apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
Sementara itu, tercatat di tahun 2020-2021 Madropik dan Rizky Prasandy keduanya adalah Tenaga Harian Lepas yang bekerja di DLH Kota cilegon, Madropik merupakan Bendahara Penerimaan pada Subbagian Keuangan DLH Kota Cilegon pada 2020, sementara Rizky Prasandy menjabat sebagai staf yang merupakan tenaga harian lepas pada sub bagian keuangan keduanya menjadi tersangka dalam korupsi retribusi sampah
Keduanya dituntut 3,5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Cilegon dalam kasus korupsi dana retribusi sampah 65 perusahaan di Kota Cilegon sebesar Rp673 juta.
“Supaya Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Serang yang memeriksa dan mengadili perkara memutusakan terdakwa Madropik dan Rizky terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 8 Jo Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi,” kata JPU Kejari Cilegon, Achmad Afriansyah saat membaca tuntutan, Selasa (11/3/2025).
1. Masing-masing terdakwa juga dituntut membayar denda dan uang pengganti kerugian negara
Selain pidana, JPU Achmad Afriansyah juga menuntut Madropik dan Rizky untuk membayar denda Rp150 juta. Jika denda tersebut tidak dibayarkan, maka diganti dengan kurungan selama 3 bulan.
Tak hanya itu, keduanya juga diwajibkan membayar uang pengganti masing-masing sebesar Rp336 juta. Jika para terdakwa tidak membayarkan uang pengganti paling lama 1 bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.
“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana 1 tahun dan 9 bulan penjara,” katanya.
2. Pertimbangan yang memberatkan dan meringankan terdakwa
Adapun pertimbangan jaksa dalam menjatuhkan tuntutan dengan mepertimbangkan keadaan memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
“Hal-hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan selama proses persidangan, belum pernah dihukum dan terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya,” katanya.
3. Kedua terdakwa tidak menyetorkan uang retribusi sampah ke kas daerah
Dalam sidang dakwaan, JPU Achmad menyebut, kedua terdakwa bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak menyetorkan uang pembayaran retribusi dari 65 perusahaan ke kas daerah.
“Penyetoran retribusi pelayanan persampahan dari perusahaan – perusahaan pada tahun 2020 dan tahun 2021 yang terdakwa terima seharusnya disetorkan ke kas daerah, namun terdakwa tidak menyetorkan ke kas daerah,” kata Achmad.
Perusahaan yang dana retribusi sampahnya dicatut oleh kedua terdakwa merupakan perusahaan jasa transporter yang tugasnya mengantarkan sampah-sampah dari perusahaan di Cilegon ke TPSA Bagendung.
Pada tahun 2020, ada 38 perusahaan yang dana retribusinya tidak masuk ke kas daerah sebesar Rp492 juta dan pada tahun 2021 ada sebanyak 27 perusahaan dengan dana retribusi yang tidak masuk sebesar Rp181 juta.
“Keseluruhan perusahaan berjumlah 65 perusahaan dengan total dana retribusi yang tidak disetorkan sebesar Rp673 juta,” katanya.
Agar tidak ketahuan, kedua terdakwa diduga memanipulasi Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) dan Surat Setoran Retribusi Daerah (SSRD). Keduanya bahkan memalsukan tandatangan Kepala Dinas DLH Kota Cilegon.
“Atas pembayaran retribusi yang diterima Madropik dan Terdakwa (Rizky) tidak seluruhnya disetor ke Kas Daerah, untuk itu Saksi Madropik membuat SKRD dan SSRD palsu yang disesuaikan dengan nilai nominal yang disetorkan ke kas daerah,” katanya.
Menurut tuntutan, dua tersangka yang terlibat dalam korupsi retribusi sampah di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilegon harus dipenjara selama 3 tahun dan 6 bulan.
Pada tahun 2020, Madropik dan Rizky Prasandy bekerja sebagai bendahara penerimaan di sub bagian keuangan DLH Kota Cilegon. Meskipun keduanya adalah Tenaga Harian Lepas (THL), mereka memiliki tanggung jawab penting dalam mengelola keuangan.
Achmad Afriansyah, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Cilegon, membacakan tuntutan di depan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Serang. Ini adalah pernyataan resmi yang disampaikan dalam persidangan, berisi evaluasi dan rekomendasi mengenai kasus tersebut.
Menurut Achmad, keduanya telah melanggar hukum pidana dalam Pasal 8 dan Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP seperti yang didakwa oleh Jaksa.
“Menuntut Majelis Hakim yang menyidik dan mencoba kasus ini untuk memberikan hukuman penjara selama 3 tahun dan 6 bulan kepada terdakwa Madropik,” kata Achmad saat membacakan surat tuntutan terhadap kedua terdakwa secara bergantian.
Selain risiko penjara, mereka juga harus membayar pidana denda sebesar Rp150 juta atau menjalani hukuman 3 bulan penjara.
Selain itu, mereka juga harus membayar Uang Pengganti (UP) sebesar Rp336 juta masing-masing. Jika pembayaran ini tidak dilakukan, maka harta bendanya akan disita oleh pemerintah. Jika jumlah uang tersebut tidak mencukupi, mereka dapat dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun dan 9 bulan.
Tuntutan hukum yang sedang dihadapi membuat tindakan mereka tidak sejalan dengan tujuan pemerintah untuk memerangi korupsi.
Di sisi lain, ada beberapa faktor yang dapat meringankan kasus ini. Baik pria maupun wanita belum pernah dihukum sebelumnya dan bersikap sopan selama persidangan. Mereka juga menyesali tindakan mereka dan berjanji untuk tidak mengulanginya di masa depan. “Terdakwa mengakui perbuatan dan menyesali apa yang telah ia lakukan,” kata Achmad.
Ditahun 2024 Kejati Banten membongkar dugaan korupsi berjamaan pada proyek pengelolaan sampah di DLH Kota Tangerana sebilai 79,5 Milyar. Tindak Pidana Korupsi (TPK) dapat terjadi pada berbagai program kerja termasuk urusan pengelolaan sampah. Kasus terakhir ini terendus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten yang kembali menetapkan tersangka baru dalam perkara dugaan korupsi pengangkutan dan pengelolaan sampah di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan tahun 2024.
Kasus ini menjerat segelintir okunum pegawai DLHK Kota Tangerang dari level staf sampai kepala dinas dengan total nilai korupsi ditaksir mencapai Rp75,9 miliar.
Saat itu Penyidik Tindak Pidana Kejati Banten melakukan penahanan terhadap tersangka ZY selaku mantan staf DLH Kota Tangerang Selatan pada Kamis, 17 April 2025.
ZY tercatat sebagai Aparatur SIpil Negara (ASN) di Dinas Penduduk dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kota Tangsel.
ZY yang sebelumnya bekerja di staf di Dinas Lingkungan Hidup (DLH )menjadi tersangka perkara korupsi pengelolaan sampah di DLH Kota Tangsel
ZY ditahan dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Kegiatan Pekerjaan Jasa Layanan Pengangkutan Dan Pengelolaan Sampah Di Dinas Lingkungan Hidup Dan Kebersihan Kota Tangerang Selatan Pada Tahun 2024.
Tersangka ZY diduga melakukan pelanggaran dengan sangkaan pasal 2 ayat (1) Jp. Pasal 18 Uudang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jerat Kepala Dinas LH Kota Tangsel
Dengan penetapan dan penahanan ini, ZY akan menjalani masa tahanan selama 20 hari di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Serang pada 17 April 2025.
Diketahui Tersangka ZY saat masih bekerja di Dinas Lingkungan Hidup, bertugas untuk menetapkan lokasi pembuangan sampah. Dia bekerja sama dengan tersangka WL, yang menjabat Kepala Dinas LH Kota Tangsel untuk menentukan lokasi pembuangan.
WL yang merupakan Kepala DLH Kota Tangsel ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan sejak 15 April 2025. Dan saat itu menjalani masa penahanan di Rutan Negara Kelas II B Pandeglang.
WL diduga bersekongkol dengan SYM selaku Direktur PT EPP yang satu hari sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Salah satu bentuk kerja sama keduanya adalah dalam pengurusan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) di mana klasifikasi tersebut diubah agar PT EPP tidak hanya memenuhi syarat untuk pengangkutan, tetapi juga pengelolaan sampah.
Selain ZY, WL, dan SYM, Tim Penyidik Pidsus Kejati Banten juga telah menetapkan TAKP selaku Kepala Bidang Kebersihan Dinas LH Kota Tangsel dalam perkara yang sama.
Penahanan TAKP dilakukan sejak Rabu 16 April 2025 berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : PRINT-307/M.6/Fd. 1/04/2025 tanggal 16 April 2025.
Catatatan GARUDASAKTINEWS.COM, pada Mei 2024, Dinas LH Kota Tangsel melaksanaan Pekerjsaan Jasa Layanan Pengangkutan dan Pengelolaan Sampah. Adapun pihak penyedia barang dan jasa dalam pekerjaan tersebut adalah PT. EPP dengan nilai kontrak pekerjaan sebesar Rp75.940.700.000.
Rincian dari pekerjaan tersebut adalah jasa layanan angkutan sampai sebesar Rp50.723.200.000 dan jasa layanan pengelolaan sampai senilai Rp25.217.500.000.
Dari hasil penyelidikan, Tim Adhiyaksa mendapati temuan bahwa telah terjadi persekongkolan sebelum proses pemilihan penyedia antara pihak pemberi pekerjaan dengan pihak penyedia barang dan jasa.
Pada tahap pelaksaan atau kontrak pekerjaan diketahui PT EPP tidak melaksanakan salah satu item pekerjaan dalam kontrak yakni tidak melaksanaan pekerjaan pengelolaan sampai, karena PT EPP juga tidak memiliki fasilitas, kapasitas dan/atau kompetensi sebagai perusahaan yang dapat melakukan pekerjaan pengelolaan sampai sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berbeda dengan pendahulunya (kasus korupsi-red), Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang, Tihar Sopian, ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pencemaran lingkungan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing. Penetapan tersangka ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada Desember 2024.
Berikut adalah poin-poin utama terkait kasus tersebut:
Tersangka: Tihar Sopian, yang menjabat sebagai Kadis DLH Kota Tangerang periode 2021-2024, dianggap lalai dalam pengelolaan TPA Rawa Kucing.
Pelanggaran: Tihar Sopian tidak menjalankan sanksi administratif yang telah diberikan untuk memperbaiki pengelolaan TPA Rawa Kucing. Pengawasan oleh KLHK menunjukkan tidak adanya komitmen perbaikan sejak 2022.
Dampak lingkungan: Sampel air lindi dari TPA Rawa Kucing menunjukkan tingkat pencemaran yang sangat tinggi, melampaui ambang batas. Pelanggaran lain termasuk pembuangan air lindi langsung ke lingkungan dan saluran drainase yang tertutup sampah.
Proses hukum: Penetapan tersangka dilakukan setelah proses penyidikan yang melibatkan pemeriksaan saksi, pengambilan sampel, dan analisis laboratorium. Proses ini didasarkan pada temuan bahwa pengelolaan TPA Rawa Kucing tidak sesuai dengan kaidah tata kelola lingkungan hidup.
Dasar hukum: Pelanggaran pidana yang dituduhkan termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun hingga kini tak ada kejelasan tindak lanjut kasus tersebut, tidak ada juga keterangan resmi soal pencabutan status tersangka yang di sandang Tihar Sopian.
Diketahui, Eks Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang, Tihar Sopian yang ditetapkan sebagai tersangka saat itu karena kelalaiannya dalam mengelola Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing, masih aktif bertugas di pemerintahan Kota Tangerang.
Jabatannya adalah Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Tangerang meski ditetapkan sebagai tersangka.
Penjabat (PJ) Wali Kota, Nurdin saat itu kepada awak media, pada Selasa (10/12 /24). menjelaskan bahwa kasus yang dialami oleh Tihar Sopian berbeda dari kasus pidana. Sehingga kini dirinya masih harus menjalan tugasnya sebagai DP3AP2KB Kota Tangerang.
“Penetapan tersangka pada Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah itu tidak menyebabkan yang bersangkutan ditahan. Jadi ini harus dibedakan dengan tersangka pidana,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Nurdin, pihaknya menyatakan pemerintah telah melaksanakan sanksi administratif yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Februari 2022.
“Saya pastikan ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) soal sanksi administratif yang sudah ditetapkan, itu semua sudah kita jalankan sebaik-baiknya,” urainya.
Pemerintah Kota Tangerang, lanjutnya, berkomitmen menjalankan sanksi demi memperbaiki pengelolaan sampah di TPA Rawa Kucing.
“Pemerintah Kota Tangerang akan terus berusaha untuk melaksanakan sanksi-sanksi pemaksaan administratif yang sedang dilakukan,” tukasnya.(yusrizal/Bar/Army)







